Perjalanan, Teman Baru, dan Cerita yang Tak Terduga




Matahari mulai terbenam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga di langit Flores. Aku duduk di dek kapal yang melaju pelan di perairan Labuan Bajo, menikmati angin laut yang menampar wajah. Perjalanan ini awalnya hanya sebuah pelarian dari rutinitas, tapi siapa sangka semuanya berubah menjadi pengalaman yang mengubah cara pandangku terhadap hidup.


Aku memutuskan untuk ikut open trip ke Pulau Komodo. Sebagai seseorang yang terbiasa solo traveling, ide bepergian bersama orang asing terasa aneh. Namun, kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Di atas kapal, aku bertemu dengan lima orang peserta lain, termasuk seorang pemuda bernama Fajar, yang tampak terlalu bersemangat untuk ukuran manusia normal.


"Nama gue Fajar. Lo?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

"Raka," jawabku singkat. Aku tak terlalu antusias, hanya ingin menikmati perjalanan ini dengan tenang.


Namun, Fajar punya cara untuk menarik perhatian siapa saja. Dia terus berbicara—tentang pulau-pulau yang akan kami kunjungi, pengalaman traveling-nya, hingga cerita lucu yang membuat kami semua tertawa. Kepribadiannya yang ceria perlahan mencairkan suasana di antara kami.


Di hari kedua, saat kami trekking di Pulau Padar untuk menikmati pemandangan ikonisnya, aku tak sengaja terpeleset di jalan berbatu. Kaki kiriku terkilir, membuatku kesulitan berjalan. Fajar segera menghampiri dan tanpa banyak bicara, dia memapahku hingga puncak. "Gue udah pernah gagal ke sini karena cuaca buruk. Nggak mungkin gue biarin lo gagal juga cuma gara-gara kaki," katanya sambil tersenyum lebar.


Sejak saat itu, kami mulai akrab. Malam hari di atas kapal, kami berbincang tentang hidup, impian, dan ketakutan. Ternyata, di balik sikapnya yang ceria, Fajar sedang berjuang melupakan rasa kehilangan setelah ibunya meninggal. "Traveling itu kayak obat, Rak. Kadang lo nggak tahu gimana cara kerjanya, tapi perlahan, lo ngerasa lebih baik," ucapnya sambil menatap laut.


Hari terakhir perjalanan menjadi puncaknya. Saat snorkeling di Pink Beach, aku kehilangan kamera underwater yang baru kubeli. Panik, aku berenang mencarinya, tapi arus laut terlalu kuat. Tanpa pikir panjang, Fajar ikut menyelam. Beberapa menit kemudian, dia muncul ke permukaan dengan kamera di tangannya. "Nih. Jangan sampai kehilangan kenangan juga," katanya.


Setelah lima hari bersama, aku merasa tak hanya mendapat teman baru, tapi juga pelajaran hidup. Perjalanan ini memberiku cerita yang jauh dari rencana semula, tapi justru membuatnya lebih berarti. Saat kapal kembali ke pelabuhan, Fajar menepuk pundakku. "Sampai jumpa di perjalanan berikutnya, Rak. Jangan lupa, hidup itu kayak traveling—nggak semua harus lo kontrol. Kadang, yang nggak terduga justru yang terbaik."


Dan aku tahu, aku baru saja bertemu dengan salah satu teman terbaik dalam hidupku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar